Seperti angin menyisir
helai rambutmu, ketika terdapati pelataran bumi yang damai, seperti mengeja alphabet
tanpa sekat spasi untuk berhenti, mengalir apa adanya. Sejuk menyesak dalam raga. Tapi bayangkan
ketika pagi termulai dengan hiruk pikuk kendaraan, macet….sebuah kata yang
selalu setia menemani pagi merayap menjemput siang. Bukan sejuk yang menyesak
tapi 'nyesek' yang bertumpuk. Seperti hari ini, aku terjebak macet, lamaaa skali…faktor
eks penyebabnya karena saya bangun
kesiangan. Slamat pagi Makassar….
Aku tak menyibukkan
diri memandangi aktivitas orang-orang di luar kaca angkot yang terjebak macet, ini
sangat berbeda dengan ekspresi orang yang menunggu lampu merah kembali hijau,
suasana yang kerap kuintip dan memandangi wajah para pengemudi dan penumpang
satu-satu. Pagi ini, aku lebih memilih memutar lagu dan berdamai dengan macet,
toh ngomelpun tak akan melapangkan jalanan.
Ada semacam olahan
kerusuhan, berlompatan di nadir ini tapi tak mampu bertindak, ketika seorang
penumpang yang masih tergolong remaja mengapit lengan seorang anak laki-laki
yang sepintas menurut terkaanku, sekitar dua belas tahun, mereka berdua
keliatannya terpaut 3-4 tahun, yang diapit berparas putih bersih dan pakaiannya
yang rapi, sementara yang mengapit berkulit kecoklatan terpanggang sinar
mentari, bajunya agak kumal dan sebuah ransel besar bertengger di punggungnya.
Dan mataku menangkap sesuatu yang beda dari mereka, terlihat istimewa.
Aku bisa menegur
mereka, ketika penumpang di angkot turun satu persatu. Sukar memulai percakapan
dalam angkutan umum yang sesak dengan penumpang, al hasil aku juga tidak bisa
ngobrol lama dengan si pembawa ransel lebih lama.
“Adiknya ya dek?”
tanyaku iseng
“Bukan kak” jawabnya
sambil tersenyum, aku mangut-mangut saja. Kupandangi anak berkulit putih itu
yang nyaris tak fokus pada pandangan matanya, sesekali meringis seperti ada
yang dikhawatirkan, lalu detik berikutnya asik dengan dirinya sendiri
“Saya yang antar ke
sekolah” tambah si pembawa ransel
“Adeknya sakit?”pancingku
lagi
“Tidak kak, sedikit
beda, autis”ungkapnya mantap
Meski sebelumnya sudah
bisa tertebak dari penampilan luar si anak berkulit putih, tapi ekspresiku saat
mendengar si pembawa ransel berbicara mantap seperti itu, tetap terhipnotis,
rasanya langsung numpuk semacam rasa kagum di singgasana hatiku. Aku diam
sejenak, jemariku perlahan menyapu tuts pause
lagu It’s a forever lovenya Yoo
Seung Hoo, yang tadinya aku dengar di telinga sebelah saja, sekarang aku
tertarik berbicara dengan si pembawa ransel sambil menikmati pemandangan yang terpahat di wajah si adik kulit putih.
Ketika seorang
penumpang yang duduk dekat dengan si kulit putih turun, si pembawa ransel
memberi isyarat untuknya agar duduk mendekat, si kulit putih langsung
melingkarkan tangannya di lengan si pembawa ransel dan menyandarkan kepalanya
di bahunya. Subhanallah….aku merasa
kemacetan di luar sana berubah jadi instrument lagu yang menenangkan, tiba-tiba
aku merasa, separuh perjalanan pagiku kali ini terhipnotis oleh tiupan
dandelion yang seenaknya beterbangan, sebebas lambungan angin yang menderu. Dua
anak di depan mataku ini, serasa aku menonton drama di panggung sandiwara yang
sedemikian menyentuh. Aku rasa, pagi ini aku mendapat sisir dari Sang Kuasa
untuk meluruskan helai hati yang mungkin lupa untuk dirawat dan diberi benih menyejukkan.
Trimakasih untuk ketulusan kalian berdua yang telah kupelajari begitu awal di
pembuka hariku kali ini. Kita semua, mungkin pernah melihat para penyandang
cacat,atau mereka yang terlahir tidak seberuntung kita, tapi efek dari sebuah
pertemuan nyata pastilah beda. Nuranimu akan meloncat, dan hatimu akan ikut
berlompatan dengan alphabet kata yang disematkan, selalu beda jika menemukan
hal yang nyata.
Hariku ternyata tak
terhenti sampai kegiatanku membuka pagi, ternyata hariku yang tersuguhi
pemandangan damai pun aku dapati ketika aku pulang kembali ke rumah. Yaa…di
saat suasana jalanan kembali padat merayap, suasana ketika para pekerja kembali
ke rumah, ketika para mahasiswa mengakhiri perkuliahannya dan suasana ketika
para penjaja makanan menutup warungnya menyambut pergantian cahaya pagi ke
senja. Aku mengambil tempat duduk di dalam angkot dekat seorang ibu yang
memilik anak batita, niatku..selama perjalanan aku ingin main-main dengan anak
si ibu yang emang ngegemesin…^_^. Saking asyiknya bermain dengan si kecil, aku
baru menyadari kehadiran sosok istimewa yang tadinya duduk tepat di hadapanku. Seorang
laki-laki yang takaran usianya sekitar 50an, ubannya sudah menyembul indah di
antara rambutnya yang sedikit masih hitam, Beliau turun benar-benar hati-hati,
dan mengeluarkan sebuah benda panjang yang tadinya dilipat berbahan aluminium, sebuah
tongkat…yaa beliau seorang penderita cacat.
“Sudah sampai di depan
dipanegara ya”tanya si bapak ke pak sopir, dan dijawab cepat oleh ibu di
dekatku, aku diam…asik dengan pahatan wajah si bapak.
“Iya pak” jawab si
sopir angkot…
“Biar saya yang bayar
pak”sahut seorang pemuda di sudut angkot, keliatannya dia khawatir dengan
pergerakan si bapak mencari dompetnya
“Makasih nak”jawab si
bapak dengan arah yang salah
“Hati-hati Pak” tambah
si pak sopir, dan dibalas senyuman si bapak, aku ikut tersenyum melihat
wajahnya.
Malampun bisa terasa
menghangatkan, jika hati kita mampu berdialog dengan keluhan akan dingin. Ketika
jarak menjadi sumber jawaban bahwa antara kita ada perbedaan, maka setidaknya
nurani bisa mencuri perhatian dari segenap beda yang ada,kuharap nurani
mengerjakan tugasnya untuk memoles kekakuan. Dan ketika sapa dan tegur menjadi
semacam hal yang terlupakan, maka kuharap setidaknya ada senyuman untuk
melingkarkan damai untuk kehidupan ini. Tuhan pemilik jagad raya, menciptakan
kita dengan segenap kekurangan dan kelebihan, maka tak sepantasnya kita mencela
satu sama lain.
Trima kasih untuk si
pembawa ransel, si kulit putih, si bapak buta, si ibu yang memberi ijin untukku
bermain dengan anaknya, pemuda si penyapa, sopir yang santun. Aku belajar
banyak hal dari kalian hari ini…Aku menemukan harta karun yang sulit untuk di
dapatkan di tengah kesibukan kota yang menderu di antara gedung pencakar
langit.