Sabtu, 13 Juni 2015

010215


Assalamu’alaikum Izz, Anak Salehku. Ketika kamu membaca tulisan Ummi ini tentunya kamu sudah besar nak, sudah bisa membaca. Ummi akan bercerita tentang bagaimana kamu terlahir ke dunia ini. Dan betapa bahagianya Ummi dan Abi kala itu. Slamat membaca Nak^^

Memasuki minggu 36 kehamilan, ummi semakin merasa was-was, plus stress juga. Mungkin karena ini adalah anak pertama kali ya…Minggu 37 ummi memeriksakan kandunganku di bidan, menurut ibu bidan kepala si dede belum masuk ke pintu panggul, masih melayang. Ummi disarankan untuk naik turun tangga dan jalan-jalan pagi. Memang sih ummi jarang jalan-jalan pagi, malas. Tapi aktivitasku selalu menuntut ummi untuk mobile, bahkan kehamilan 36 minggu kemarin ummi masih wara wiri Enrekang Makassar. Ibu bidan menafsirkan BBJku 3,2 kg di pemeriksaan minggu ke 37, ummi menelpon teman-temanku yang berprofesi sebagai bidan rata-rata mereka menebak nanti ummi lahirannya SC karena bayiku berpotensi punya ukuran besar. Menyesal ummi menelpon mereka, malah memperbanyak stressorku L.  Ya Rabb ummi pengen lahiran normal. 

Kebetulan ummi janjian dengan dokter kandunganku, dokter Amel untuk kontrol di minggu 38. Sebenarnya keluarga dan suami sudah tidak mengijinkan. Jarak tempuh Enrekang ke Makassar 6-7 jam perjalanan.  Ummi tambah galau, bagaimana nanti kalau perkiraan para bidan itu benar, ummi akan di SC. Sementara dokter di Rumah sakit Enrekang ini dokternya laki-laki, dan ummi sama sekali tidak siap dengan hal itu, aku lebih memilih dan sangat ingin melahirkan normal di tangan ibu bidan yang memang sudah kukenal. Walaupun memang dokter Amel, dokter kandunganku di Makassar pun sangat baik dan kooperatif. Aku merasa hubungan terapeutik sangat mendukung kelancaran persalinan.  Ummi bujuk-bujuk akhirnya mereka luluh juga dengan syarat ummi ditemani Bapak.

Bidan Ijok, itu nama bidanku pun memberi lampu hijau asal ada yang temani dan selalu bawa baju baby kemana-mana. Dan direncanakanlah ummi berangkat tanggal 31 januari karena tanggal 2 Februari adalah jadwal konsul dengan dosen pembimbing tesisku dan kontrol ke dokter Amel. Tapi tanggal 30 Januari ummi berubah pikiran, ummi membujuk Ibu untuk ikut menemaniku ke Makassar, takut ada apa-apa di perjalanan, ummi meminta Ibu ijin dari kantor dan ibu menyanggupi. Tapi siapa sangka rencana itu tinggal rencana. Semuanya tak berjalan sesuai format yang direncanakan.
Waktu itu Sabtu subuh tanggal 31 Januari, usia kehamilan 38 minggu 2 hari.  Ummi bangun untuk shalat subuh dan bercak darah kecoklatan itu mulai ada. Ummi merasa was-was dan curhat ke Abi, “Bagaimana ini Abi, tidak sakit tapi ada bercak darah kecoklatan?”. Akhirnya kami memutuskan menunggu sampe ada rasa nyeri muncul baru Abi pulang. Suamiku berkantor di Banjarmasin, sementara cutinya adalah tanggal 10 Februari karena tanggal perkiraan partusku adalah 18 Februari. 

Pukul 11.00 pagi, bercak darah kecoklatan mulai berwarna merah terang tapi belum berasa nyeri sama sekali. Tapi akhirnya Abi memutuskan untuk pulang. Booking  tiket jam 16.00.  Ummi kemudian SMS Ibu yang masih di kantor.  Setelah terlibat percakapan panjang kali lebar, akhirnya Ibu menyimpulkan saya kecapean. Pagi tadi ummi memang turun tangga sampe 10 kali. Pukul 14.00 bercak darah mulai banyak, pukul 15.00 Ibu diam-diam ke ibu bidan memberitahukan keadaanku, ibu bidan menelponku dan kuceritakan kronologisnya. Kesimpulannya sama seperti ibu, mungkin ummi kecapean.

Pukul 17.00, teman-teman SMA Ummi datang bertamu sekalian membawakan kain seragamku, kebetulan awal bulan depan ada sahabat kami yang akan melangsungkan pesta pernikahan. Waktu itu ummi sempat curhat ke mereka, karena salah satu dari mereka sudah punya anak. Ummi bahkan sempat dicontohkan cara mengejan yang baik versi dia ^_^.

Pukul 20.00, perutku tiba-tiba mules seperti mau datang bulan. Tapi ummi masih bisa nonton TV bareng Ibu. Pukul 20.30, mulesnya mulai berasa mengentak-entak tapi masih bisa kutahan dengan menyibukkan diri menelpon Abi. Pukul 21.00 bukan mules lagi tapi berasa Braxton hiss, nyeri. Pukul 22.00, sakitnya tambah nyeri, Abi menelpon dan memberitahu dia sudah start dari Makassar. Ummi mulai mencatat jedah antara sakitnya. Hasilnya hampir teratur 10-12 menit. Ibu menelpon ibu bidan lagi. Pukul 23.00 ummi mulai merefleksikan pikiranku dengan yang indah-indah, sakitnya makin menjadi-jadi, tidak kuhiraukan lagi dering telpon suamiku tapi anehnya ummi masih sempat chating di FB lewat hp, seolah-olah ummi tidak kesakitan. Pukul 00.15 ummi menyudahi menghitung jedah nyerinya, ummi sibuk menopang perutku yang berasa sakit.  Berkali-kali ibu menganjurkan untuk tidur karena katanya ummi butuh tenaga untuk mengejan nantinya, ummi diam saja. Tahukah engkau Ibu, hasratku untuk tidur tinggi sekali tapi sakit ini membuat mataku tidak bisa terpejamkan.

Pukul  03.20 kudengar suara Abi di ruang tamu berbicara dengan Ibu dan Bapak, sejenak hatiku terasa damai, Suamiku sudah datang. Pukul 04.00 Abi masuk kamar dan mengelus pundakku, mengecup dede dan memelukku dari belakang. Abi sudah datang sayang, begitu bisiknya. Airmata ummi langsung menganak sungai. Kugengam erat tangannya sambil menahan sakit, ummi berbisik lirih, “Sakit…..”. Abi mengusap kepala ummi dan melafalkan doa-doa.

Ahad 1 Februari, pukul 05.00, setelah menunaikan shalat subuh, Abi mengaji sambil mengelus perutku. Agak berasa lebih nyaman tapi masih tetap sakit. Pukul 06.10. ummi keluar kamar dan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, Abi mengikutiku berjalan dan memegangiku disamping mirip seperti asisten pribadi,  aku berhenti lalu meremas kedua tangan abi ketika hissnya datang. Ibu dan Bapak mengawasi dari jauh. Pukul 07.20 Ibu bidan menelponku, aku berbicara diantara jedah hiss dengan nada sebiasa mungkin. Ibu bidan memintaku untuk ke puskesmas. Abi buru-buru mandi, kemudian membantuku mempersiapkan diri, Ibu menyiapkan segala sesuatunya yang mungkin akan diperlukan disana. Abi sungkem minta maaf kepada Ibu dan Bapak, sementara aku hanya bisa menciumi tangan mereka lalu memeluk satu-satu sambil minta maaf dan mohon doanya untuk kelancaran persalinan. Ummi sudah tidak kuat untuk berjongkok dan sungkem lagi. "Bapak..Ibu maafkan dan ampuni dosa-dosaku"

Pukul 09.00,  bidan Ijok, 2 bidan asistennya dan beberapa orang mahasiswa sudah menungguku, Pukul 09.05 aku berbaring di ranjang bersalin untuk di VT (pemeriksaan untuk menilai persalinanku sudah masuk pembukaan berapa) untuk pertama kalinya, Jam dinding persis berada di hadapanku. Ruang persalinan bersih lengkap dengan kamar mandinya, ini salah satu alasanku memilih puskesmas karena kalau melahirkan di rumah sakit maka ibu-ibu yang akan melahirkan dijejer disitu. Dulu pengalaman kakak sulungku melahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah di Makassar, berbanjar rapi seperti bangsal, teriakan para ibu membahana silih berganti. Kakakku ketika itu adalah orang yang pertama kali masuk ke kamar bersalin dan diapun yang paling akhir keluar dari kamar bersalin. Ketika samping tempat tidurnya berhasil melahirkan, kakak hanya memandangi dengan cemas. Jelas stresornya semakin meningkat.

Bidan Ijok lalu memperkenalkanku dengan bidan asistennya dan mahasiswa dan meminta kalau yang memimpin persalinan nanti dia sendiri, jadi mahasiswa tidak usah mengambil alih. Aku sedikit lega dan berterimakasih kepada ibu bidan. Bidan Ijo lalu melakukan pemeriksaan dalam. Ternyata VT itu benar-benar tidak nyaman dan sakit. Aku bayangkan mereka yang melahirkan dengan berapa kali pemeriksaan VT. Hasilnya aku masih pembukaan 1. Kudengar ibu bidan berbisik ke Ibu untuk tenang. “masih lama Bu, bisa jadi besok, tenangkanmiki dirita dulu, ke pasar miki dulu”. Aku mulai cemas sendiri, Ya Ampun masih lama, sakitnya sudah berasa maksimal, ditambah semalaman aku tidak tidur. 

Pukul 10.00, bidan Ilmi yang super duper sabar nan ayu hendak melakukan pemeriksaan dalam untuk kedua kalinya. Aku menolak mentah-mentah, tidak bicara hanya lewat lambaian tangan menolak. Sejak VT pertama aku seperti trauma menaiki ranjang bersalin. Aku terus mondar-mandir di dalam kamar bersalin dan skali-skali menyebrang ke ruang administrasi. Abi masih tetap berjalan seperti asistenku, tapi kali ini makin parah karena ketika hissnya datang aku tidak lagi meremas tangannya tapi mencakar tangannya. Dua orang mahasiswa ikut berjalan di belakangku bergantian mengepel bercak darah yang mengalir di kakiku. Pintu depan sengaja dikunci sesuai permintaanku ke bidan Ijok karena kondisiku saat itu tengah tak berhijab. Pukul 10.20, sakitnya makin menjadi-jadi, jedahnya sekarang 2menitan. Ibu sudah pulang dari pasar. Ibu dan Bapak duduk di ruangan administrasi, ibu berkali-kali menyodorkan aku nasi tapi tak kusentuh, kutolak dengan isyarat, aku akhirnya baru makan sedikit setelah diberikan barobbo. Ibu lalu memberiku madu. Pukul 10.40, aku mulai doyan ke kamar mandi. Bidan Ilmi menyuruh salah satu mahasiswa berjaga-jaga di depan kamar mandi. Pukul 10.50, aku mulai bersuara pelan dan bergumam sakit di depan Abi, Abi memandangiku iba dan mengelus kepalaku. Pukul 11.05 aku meminta Abi untuk memberitahukan bidan Ilmi aku mau di SC saja, sakitnya sudah tidak tertahankan lagi.

Bidan Ilmi datang dan memintaku di VT dulu tapi kutolak lagi. Bidan Ilmi lalu memberiku segelas air putih sambil terus memberiku semangat. pukul 11.10, jam dinding di kamar bersalin terasa berjalan lambat. Ibu dan Bapak mulai kasak kusuk masuk ke kamar bersalin menanyakan ini itu tapi kubalas dengan diam. Terlalu sakit untuk berbicara. Aku masih mempertahankan teknik refleksi pikiranku, sesekali mengelus perut dan bergumam, nak kapan kamu mau keluar sayang?. 11.15, abi makin sering melafalkan doa-doa kemudahan persalinan, sesekali aku mengikutinya. 11.20 Bidan Ilmi masuk lagi dan menawarkan untuk di VT dan kutolak lagi, maafkan aku bidan Ilmi. Pukul 11.25 emosiku mulai mengintip, aku menyuruh abi untuk memijat pundak, setelah itu pindah lagi ke punggung, setelah itu mulai marah-marah tidak karuan, cakaranku mulai tak terkontrol. 11.30, aku makin frustasi kenapa si dede belum mau keluar, berasa ada benda besar yang mau keluar tapi tertahan. Air mataku mulai menetes, Abi pun makin sering berbicara dengan dede. Aku berusaha memikirkan yang indah-indah, bagaimana nanti kalo anakku lahir dan mulai bisa bicara, belajar jalan dan seterusnya, agak sedikit berhasil.

Pukul 11.45 aku masih berjalan  mengitari kamar bersalin, terlalu sakit untuk berbaring di ranjang persalinan. Dua orang mahasiswa mengikuti kami dan membersihkan rembesan darahku di lantai. Betapa baiknya mereka. 11.50, ada semacam dorongan besar, kuat mengentak dari dalam. Tiba-tiba aku muntah, keringatku bercucuran. Aku memberi kode ke Abi untuk memanggil bidan. Segera bidan Ilmi memasang handscon. dan betapa kagetnya dia ketika mengetahui pembukaannya lengkap. Subhanallah sudah lengkap, aku tidak mendengar perkembangan pembukaannya tiba-tiba sudah lengkap (ya iyalahhh dirimu kagak mau di VT sih neng). “Rambutnya sudah keliatan…telpon bidan Ijok, siapkan pakaian baby, celemek bla..bla..”. Bidan Ilmi memberikan istruksi.  Aku sempat tersenyum melihat tingkat para bidan mondar mandir di hadapanku.

Kebetulan bidan Ijo baru pulang dari pasar dan baru sampai di rumahnya. Ibu menelpon Bapak yang kebetulan pulang ke rumah saat itu untuk menjemput ibu bidan di rumahnya, hp Bapak silent, ibu bergegas berlari ke rumah. Bidan Ilmi meminta Abi menyiapkan pakaian baby, Abi sibuk memperbaiki posisiku, aku sudah tidak kuat menggeser tubuhku lagi, aku mulai berkonsentrasi pada teknik nafas dalam, bidan yang lain membantu membongkar tas perlengkapan. Bidan Ilmi mengintip jendela kamar bersalin lalu berseru memanggil dokter bumi (dokter laki-laki) untuk membantu persalinan. Aku sempat berteriak, “tidak usah…tidak usah…ibu bidan saja yang pimpin persalinan”. Abi juga masih sempat memenuhi permintaanku dan meminta dokter bumi yang sudah siap masuk ke kamar bersalin untuk tidak usah membantu. Hehehe maafkan aku dok. 

Entah darimana, tiba-tiba bidan Ijok sudah menerobos masuk kamar bersalin. Bidan Ilmi segera bertindak sebagai asistennya, Abi dan dua orang mahasiswa menyokongku. Abi masih komat kamit berdoa dan aku mengaminkan. Ya Allah…Ya Rabb…Tuhan pemilik semesta, hari itu, jam itu aku menyerahkan urusan ini padaMu, nyawaku…hidupku…takdirku…sudah tertulis indah dalam diary ciptaanMu. Pukul 12.05, Bidan Ijok mulai memberi instruksi padaku tentang posisi dan step-step yang akan dilakukan.
Aku memejamkan mata dan mulai mengejan. Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan,  UFFFHHHH…..1x. “Bagus” puji bidan Ijo.
 HUFHHHHH….2x. “Iya….., lagi Tuti”
Aku membuka mata, HUUUUUFFFHHH…3x dan langsung diikuti oleh tangisan dede.
“Laki-laki” seru bidan Ijok. Secepat kilat Dede langsung ditaruh di dadaku untuk IMD. Kupandangi wajah malaikat kecilku, anakku, putraku. “Assalamu’alaikum sayang”. Abi lalu mengazani. Bidan Ijok tersenyum padaku “Mantap..anak kedua Insha Allah lebih mantap lagi” ujarnya dan disambut gelak tawa bidan Ilmi. Semuanya berjalan cepat, alhasil pakaian pertamamu tidak sepasang nak, dan saat itu harusnya kamu tengah memakai topi baby tapi celana kacamata yang bertengger imut di kepalamu. Pukul 12.10 kamu lahir nak, bertepatan dengan azan Dzuhur di mesjid. 

Alhamdulillah…Alhamdulillah…Trimakasih atas karuniaMu Ya Rabb

Dua menit berikutnya plasentanya pun keluar. Bapak dan Ibu berhamburan masuk dan melihat kondisiku. Ibu menanyakan apakah plasentanya sudah keluar? Dan Bapak menanyakan jenis kelamin bayinya (Bapak memang tidak diberitahu hasil USG kehamilanku).
Bidan Ijo kemudian memanggil Abi untuk berdiri tepat di sampingnya ibu bidan. 
“Apa lagi ibu bidan?”tanyaku bego. 
“Dijahit dulu ya” katanya.
“Sakit itu??”tanyaku lebih bego lagi. Dari cerita orang-orang katanya dijahit pasca melahirkan itu lebih sakit ketimbang mengejannya 
“Pelan-pelan ibu bidan….”aku memasang muka nano-nano, takut,cemas, menolak tapi mau tidak mau harus terima etc. membingungkan!!
Bidan Ijok sempat menggodaku. Dengan mencubit pahaku dan spontan aku berteriak sakit…sakit ibu bidan. Abi ikutan tersenyum. Padahal proses hecting belum dimulai. Nanti pada saat bidan Ijok tengah melakukan hecting, baru bertanya “Sakit tidak?”
“Belum mulai toh ibu bidan”tanyaku. Abi tersenyum simpul dan menyapu kepalaku
“Iya belum”jawab bidan Ijok
“Mulai saja ibu bidan, saya pasrah” aku menutup mata sambil membelai rambut Dede. Tapi kali ini dua orang mahasiswa dan bidan Ilmi malah tertawa
“Sudah selesai” kata bidan Ijok
“Heh”$%#$%#^*
“Ummi hebat”ujar Abi
Rasanya seperti benang layangan yang bergeser pelan di paha. Selebihnya Alhamdulillah tidak sakit. Aku tersenyum lebar dan mengusap kepala dede yang masih dalam dekapanku
Menit berikutnya mereka membersihkan peralatan, mengalasi bokongku dengan pembalut persegi super duper gede bin lebar. Setelah itu mereka meminta ijin untuk mengambil dede dulu, diukur berat dan tingginya.

Abi keluar menemui ibu dan bapak. Belakang aku tau kalau mereka sujud syukur berjamaah di luar. Mereka lalu menemuiku, menanyakan kondisiku. Aku tersenyum lega. Setengah jam kemudian aku sudah di kamar. Jalanku sudah kayak bebek, tapi perasaanku plong seketika. Dede sudah tertidur pulas dalam dekapanku. Dua jam kemudian, Abi sudah sibuk mengelus sambil ketawa ketiwi tidak jelas memandangi anaknya, aku sibuk bercerita dengan ibu dan para mahasiswa tentang pengalamanku dalam kamar bersalin. Puas bercerita dengan ibu dan mahasiswa, aku lalu mengabari sahabat-sahabatku tentang kabar persalinanaku lewat sosmed. Aku sibuk menerima telpon, balas sms, dll. Ibu bidan sampai harus mengingatkan untuk istrahat. Aku hanya berbaring telentang lalu bercakap bertiga dengan Abi dan Dede. Kantuk semalaman entah menguap kemana. Belakangan aku tau jawabannya, kantukku menguap ke Dede, bayi mungil itu tertidur pulas. Kami bergantian mengecup keningmu Nak.

Anakku sayang, akhirnya kamu datang pada kami. Akhirnya kami bisa melihat rupamu. Kamu hadir 
di awal februari, dan memberikan status baru pada kami. Abi…Ummi. Anakku, Abi dan Ummi sayang dede….

Malam itu kami tidur telat, terlalu sibuk memandangi wajahmu yang tidak membosankan nak^_^
Anakku trimakasih telah datang dalam proses yang demikian indah ini.
Trimakasih telah mengubah Kamu dan Aku lalu melengkapkannya menjadi KAMI. keluarga kecil kami
bahkan sarung khusus buatmu pun nda kepake nak #edisiburuburu

5 komentar: