Rabu, 07 November 2012

Hati itu harta karun..^^


Seperti angin menyisir helai rambutmu, ketika terdapati pelataran bumi yang damai, seperti mengeja alphabet tanpa sekat spasi untuk berhenti, mengalir apa adanya.  Sejuk menyesak dalam raga. Tapi bayangkan ketika pagi termulai dengan hiruk pikuk kendaraan, macet….sebuah kata yang selalu setia menemani pagi merayap menjemput siang. Bukan sejuk yang menyesak tapi 'nyesek' yang bertumpuk. Seperti hari ini, aku terjebak macet, lamaaa skali…faktor eks penyebabnya karena saya bangun kesiangan. Slamat pagi Makassar….

Aku tak menyibukkan diri memandangi aktivitas orang-orang di luar kaca angkot yang terjebak macet, ini sangat berbeda dengan ekspresi orang yang menunggu lampu merah kembali hijau, suasana yang kerap kuintip dan memandangi wajah para pengemudi dan penumpang satu-satu. Pagi ini, aku lebih memilih memutar lagu dan berdamai dengan macet, toh ngomelpun tak akan melapangkan jalanan. 

Ada semacam olahan kerusuhan, berlompatan di nadir ini tapi tak mampu bertindak, ketika seorang penumpang yang masih tergolong remaja mengapit lengan seorang anak laki-laki yang sepintas menurut terkaanku, sekitar dua belas tahun, mereka berdua keliatannya terpaut 3-4 tahun, yang diapit berparas putih bersih dan pakaiannya yang rapi, sementara yang mengapit berkulit kecoklatan terpanggang sinar mentari, bajunya agak kumal dan sebuah ransel besar bertengger di punggungnya. Dan mataku menangkap sesuatu yang beda dari mereka, terlihat istimewa.

Aku bisa menegur mereka, ketika penumpang di angkot turun satu persatu. Sukar memulai percakapan dalam angkutan umum yang sesak dengan penumpang, al hasil aku juga tidak bisa ngobrol lama dengan si pembawa ransel lebih lama.
“Adiknya ya dek?” tanyaku iseng
“Bukan kak” jawabnya sambil tersenyum, aku mangut-mangut saja. Kupandangi anak berkulit putih itu yang nyaris tak fokus pada pandangan matanya, sesekali meringis seperti ada yang dikhawatirkan, lalu detik berikutnya asik dengan dirinya sendiri
“Saya yang antar ke sekolah” tambah si pembawa ransel
“Adeknya sakit?”pancingku lagi
“Tidak kak, sedikit beda, autis”ungkapnya mantap

Meski sebelumnya sudah bisa tertebak dari penampilan luar si anak berkulit putih, tapi ekspresiku saat mendengar si pembawa ransel berbicara mantap seperti itu, tetap terhipnotis, rasanya langsung numpuk semacam rasa kagum di singgasana hatiku. Aku diam sejenak, jemariku perlahan menyapu tuts pause lagu It’s a forever lovenya Yoo Seung Hoo, yang tadinya aku dengar di telinga sebelah saja, sekarang aku tertarik berbicara dengan si pembawa ransel sambil menikmati pemandangan  yang terpahat di wajah si adik kulit putih.

Ketika seorang penumpang yang duduk dekat dengan si kulit putih turun, si pembawa ransel memberi isyarat untuknya agar duduk mendekat, si kulit putih langsung melingkarkan tangannya di lengan si pembawa ransel dan menyandarkan kepalanya di bahunya. Subhanallah….aku merasa kemacetan di luar sana berubah jadi instrument lagu yang menenangkan, tiba-tiba aku merasa, separuh perjalanan pagiku kali ini terhipnotis oleh tiupan dandelion yang seenaknya beterbangan, sebebas lambungan angin yang menderu. Dua anak di depan mataku ini, serasa aku menonton drama di panggung sandiwara yang sedemikian menyentuh. Aku rasa, pagi ini aku mendapat sisir dari Sang Kuasa untuk meluruskan helai hati yang mungkin lupa untuk dirawat dan diberi benih menyejukkan. Trimakasih untuk ketulusan kalian berdua yang telah kupelajari begitu awal di pembuka hariku kali ini. Kita semua, mungkin pernah melihat para penyandang cacat,atau mereka yang terlahir tidak seberuntung kita, tapi efek dari sebuah pertemuan nyata pastilah beda. Nuranimu akan meloncat, dan hatimu akan ikut berlompatan dengan alphabet kata yang disematkan, selalu beda jika menemukan hal yang nyata.

Hariku ternyata tak terhenti sampai kegiatanku membuka pagi, ternyata hariku yang tersuguhi pemandangan damai pun aku dapati ketika aku pulang kembali ke rumah. Yaa…di saat suasana jalanan kembali padat merayap, suasana ketika para pekerja kembali ke rumah, ketika para mahasiswa mengakhiri perkuliahannya dan suasana ketika para penjaja makanan menutup warungnya menyambut pergantian cahaya pagi ke senja. Aku mengambil tempat duduk di dalam angkot dekat seorang ibu yang memilik anak batita, niatku..selama perjalanan aku ingin main-main dengan anak si ibu yang emang ngegemesin…^_^. Saking asyiknya bermain dengan si kecil, aku baru menyadari kehadiran sosok istimewa yang tadinya duduk tepat di hadapanku. Seorang laki-laki yang takaran usianya sekitar 50an, ubannya sudah menyembul indah di antara rambutnya yang sedikit masih hitam, Beliau turun benar-benar hati-hati, dan mengeluarkan sebuah benda panjang yang tadinya dilipat berbahan aluminium, sebuah tongkat…yaa beliau seorang penderita cacat.

“Sudah sampai di depan dipanegara ya”tanya si bapak ke pak sopir, dan dijawab cepat oleh ibu di dekatku, aku diam…asik dengan pahatan wajah si bapak.
“Iya pak” jawab si sopir angkot…
“Biar saya yang bayar pak”sahut seorang pemuda di sudut angkot, keliatannya dia khawatir dengan pergerakan si bapak mencari dompetnya
“Makasih nak”jawab si bapak dengan arah yang salah
“Hati-hati Pak” tambah si pak sopir, dan dibalas senyuman si bapak, aku ikut tersenyum melihat wajahnya.

Malampun bisa terasa menghangatkan, jika hati kita mampu berdialog dengan keluhan akan dingin. Ketika jarak menjadi sumber jawaban bahwa antara kita ada perbedaan, maka setidaknya nurani bisa mencuri perhatian dari segenap beda yang ada,kuharap nurani mengerjakan tugasnya untuk memoles kekakuan. Dan ketika sapa dan tegur menjadi semacam hal yang terlupakan, maka kuharap setidaknya ada senyuman untuk melingkarkan damai untuk kehidupan ini. Tuhan pemilik jagad raya, menciptakan kita dengan segenap kekurangan dan kelebihan, maka tak sepantasnya kita mencela satu sama lain.

Trima kasih untuk si pembawa ransel, si kulit putih, si bapak buta, si ibu yang memberi ijin untukku bermain dengan anaknya, pemuda si penyapa, sopir yang santun. Aku belajar banyak hal dari kalian hari ini…Aku menemukan harta karun yang sulit untuk di dapatkan di tengah kesibukan kota yang menderu di antara gedung pencakar langit.

4 komentar:

  1. hm hm hm hm...kak uty paling bisa menggambarkan sekelumit kisah sederhana ini dalam balutan bahasa yang luar biasa. dasar PUJANGGA ! :p

    BalasHapus
  2. NICE STORY :)
    kelak di setiap persimpangan bumi cinta, kan kau temukan jejak-jejak harta karun lain yang lebih mempesona.^^

    BalasHapus
  3. Memang tidak bisa di anggap remeh kaka yang satu ini... semua ceritanya sangat menarik dan mengasikan... kalo aku ingin belajar membuat cerita kaya gini.. kak mau ngajarin ga? hehe... ngarep

    BalasHapus
  4. Uty, tulisanmu bagus jadi pengen lagi, lagi dan lagi

    BalasHapus