Minggu, 06 November 2016

Ketika Allah menautkan kita….



Dan akhirnya aku menulisnya..untukmu..

Bismillahirrahmanirrahim…
Assalamu’alaikum Abu Izz..
Apa kabar?? Kuliat tidurmu malam ini begitu nyenyak. Harimu melelahkan ya Bi??
2 hari yang lalu aku ada tugas, sempat aku post ke WAmu kan waktu itu. Malamnya langsung semangat nulis di laptop. Eh state  sampai di salam aja. Sudah balik kasur jumpa dengan pulau kapuk. Hari ini makin dikejar DL. Si Izz sudah tidur, makanan buatmu pun sudah kusiapkan boz. Wesss…aku disuruh buat surat cinta kepadamuh…
Nanti di baca yaa…jangan ketawa. AWASSSS
sebulan
Sore itu berbaris peluh, hari terakhir menjelang akhir pekan. Jumat sore, sebelum apel pulang. SMS di hp dari kamu berderit masuk.
“Assalamu’alaikum, saya sudah di bandara Sultan Hasanuddin, kapan saya bisa menemui orang tuamu?”
WUAAAAAAHHH…tenggorokanku seperti tercekik ribuan tangan, mataku melotot. Sekilas balik pada situasi yang lalu. Ketika aku telah melewati masa-masa istiqharaku dan dengan berani bin pongah menantangmu mari luruskan niat, kalau emang serius mintalah kepada orang tuaku??
JLEEB begini rasanya kalau orang yang nantangin akhirnya balik di tantang. KO
Ini begimane maaak???
TEEENGGGG!!! Apel pulang berbunyi
Tahukah kamu suamiku, sepanjang perjalanan pete-pete (sebutan angkot kawasan Makassar) aku mematung, pandanganku nanar, kosong ke depan. Beruntunglah saya tujuan saya adalah batas akhir rute si angkot. Jadinya begitu sampai..pak supir bertanya. Turun di mana??. Ternyata sudah sampai…huhuhu
Sampai rumah, beruntung pula saya tinggal sendiri di rumah, jadi nga ada yang liat betapa merana nan anehnya saya saat itu. Pikiran terpecah. Kusangka kau tak akan seberani itu menerima tantanganku?? Ternyata penilaianku jauh dari batas keberanianmu. Kusangka kalaupun kau berani, bakal ada proses yang terlewati sehingga setidaknya memberikan interval nafasku tetap berdequp berirama. Ternyata penilaianku melenceng. Benar kata Ayah, orang pendiam itu bisa menghanyutkan. Dia bisa melakukan sesuatu yang berani di luar dugaan kita.
At the point is…Aku belum pernah sebelumnya menceritakan hal ini pada orang tuaku. Dimana keluargaku adalah orang biasa saja, tentunya mereka akan heran begitu mendengar akan ada pemuda yang tidak mereka kenal sebelumnya datang dan bersilatuhrahmi lebih jauh. Ayah adalah sosok sebenarnya ayah, yang meluaskan seluruh bidang punggungnya untuk kami anak-anaknya bercerita, Ayah adalah bijak, penyabar dan paling menjunjung tinggi silaturahmi. Sementara ibu…adalah yang banyak bacot seperti saya, yang kutakuti dengan buncahan pertanyaan-pertanyaannya disertai intonasi landai tingginya bukti. Bagaimana caraku menyampaikan maksud kedatanganmu?? Di tambah lagi, orang tuaku adalah guru, dan kami tinggal bukan di wilayah perkotaan. Tak sembarangan orang datang bertamu. Ada yang sedikit aneh dan baru saja, se antero tetangga akan menangkap radar, takutnya info yang di tangkap beda. Aduh duuhhh bagaimana ini.
Magrib datang, aku besegera shalat dan menenangkan jiwa. Masih dengan pakaian batikku di hari jumat. Belum sempat mandi sore. Aku menangis memeluk kitabku. Hingga tangan ini meraih telpon genggam dan mengirim kabar ke ibu di kampong. Selang beberapa menit telpon bordering, dari Ibu…Ya Allah…Ya Rabbi. Kusiapkan benteng mentalku, bismillahirahmanirrahim…
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”
“Siapa yang mau datang”
“Teman”
“Untuk apa”
“Silatuhrahmi..silatuhrahmi..mungkin lebih dekat”
“YA sudah, mungkin dia datang membawa rezeki kita tidak tau kan?? Suruh datang saja, tapi jangan sendiri. Suruh siapa kah disitu yang temani”
“Eh..iya..iya…”
Dan telpon ditutup dengan salam
Bisa kau bayangkan betapa gembiranya saya saat itu. Tugasku kelar…pokoknya tugasku kelar. Hei kamu yang disana yang akan menuju kampong halamanku besok. Selamat berjuang yak wkwkwkwk

Suamiku…
Mungkin begitulah skenario Allah. Akan selalu indah ketika kita menjalaninya dengan sabar. Tahukah kamu suamiku. Ketika kau dalam tahap berusaha mengambilku dari Ayahku, saat itu riak hati ini masih menginginkan yang lain. Aku merindukan orang lain yang sejak bangku kuliah kukagumi. Yang ketika melihat dirinya, kuaminkan dia untuk jadi Ayah dari anak-anakku. Dan kau datang mengubah semuanya. Bahkan malam sebelum hari pernikahan kitapun, mataku masih sembab memikirkan dia. Dia yang tak seharusnya mengganggu pikiranku.
Aku menerimamu semata karena dalam istiqharaku jalan untuk menjawab iya selalu saja lembut tak ada rintangan, hati ini terasa ringan menjawab iya, meski aku mengenal orang lain yang lebih kukagumi. Aku hanya berusaha percaya pada sang pemilik jagad, bahwa tidak selamanya yang terbaik menurut kita hamba-hambanya, pun adalah yang terbaik menurut Allah SWT. Maka seperti jawabanku…bisimillahirrahmanirrahim…mari luruskan niat.
Sehari setelah pernikahan kutemukan jawaban untuk membangun cintaku padamu.
Aduhai..ternyata laki-laki yang dipilihkan Allah untukku sedemikian lembutnya. Kuceritakan kepadamu betapa aku menyukai dan mengagumi laki-laki itu, tentang janjinya akan menjemputku di tahun ini bla bla. Ku ulang-ulangi bahwa dia adalah laki-laki smart¸tangguh, pekerja keras dst, berharap amarahmu memuncah, namun di akhir cerita aku hanya mendapatkan sebuah kecupan di kening dan pelukan hangat. Kamu tidak marah…sama sekali tidak marah. Kala itu aku seperti Roro Jongkrang dikutuk menjadi patung.
Hatiku gerimis..sembari bergumam. Allah sungguh baik..mengirim makhluk sepertimu untuk aku yang serba kekurangan.
Hari-hari pertama pernikahan, kulalui dengan kamu yang memasak sarapan untukku bukan aku yang memasakkan untukmu. Kedengaran klise sih untuk pasangan pengantin baru tapi begitulah adanya kita. Dari kamu aku belajar membersihkan perut ikan, dari kamu aku belajar masak lauk kuah kepala ikan bersantan, sayur bening yang ternyata enak ketika ditambahkan kemiri sedikit. Hari-hari pertama kulalui dengan garis kewarasanku, bahwa aku tidak melakukan apa yang seharusnya seorang istri perbuat terhadap suami. Aku minta maaf untuk keterbatasanku…
Begitulah adanya, skenarioNya. Selalu indah dan sejuk terasa. Aku yang dulunya egois, meledak-ledak, dipertemukan denganmu yang menyejukkan, ibarat api walaupun tak slalu bisa dipadamkan, tapi barahnya bisa lebih sedikit meredup. Aku yang tak tau dengan bumbu dapur, sedikit sedikit belajar darimu. Katamu kapastitasmu hanya sederhana, pun baru mengejar nafas-nafas Islam. Tapi dengan pernikahan ini, aku bisa bandingkan kemampuanmu jauh lebih matang dariku. Hingga diusia pernikahan kita yang menjelang 3 tahun ini, aku masih tertatih-tatih untuk bangun malam hari dan menyisipkan sujud untuk mengadu padaNya, sementara dirimu seperti  sudah distel sendiri hingga bisa bangun tepat waktu dengan badan ringan.
Terimakasih untukmu penjagaanmu. Aku masih butuh penjagaan esktrak lewat hal-hal lain yang lebih indah. Kamu harus lebih gesit menyimpan barang mu agar tidak lupa disimpan dimana, itu…kerangjang pakaian kotor harus difungsiin juga yak, jangan dianggurin. Simpan pakaian kotor pada tempatnya. Masih banyak Bi…ntar aku bisikin sendiri yak..

23.45 Waktu kota Banjarbaru
Dari dia..yang gemar memandangi wajah tidurmu

Dan kamupun berkata…
Dan plong selesai juga hihih. Tadinya mau kirim lewat WA tapi berhubung kuota beliau lagi sekarat, maka kucoba menyodorkan laptop selepas shalat subuh dan memintanya untuk membaca lalu ngacir pura-pura berbaring, tapi ekspresi wajahnya terekam jelas dalam radius tempatku. Dan cahaya laptop yang terang sendiri memberi leluasa menilai tanggapannya. Hahahah kadang senyum-senyum bacanya entah di bagian paragraph mana. Berkat surat ini seharian ini aku bisa berleha-leha lanjut poin dua dan seterusnya untuk segera mengumpulkan tugas NHW3. Urusan dapur, serahkan sama Abu Izz tralalala…. Pekan depan buat kek gini lagi akh, biar bisa cuti sehari.hohoho

Dia adalah kekuatan (Izz) kita…
Namanya Izz Khafady AL Badar…
Bayi laki-laki yang terlahir ketika aku berjuang dengan tesisku. Kami selipkan kata Izz (kuat) berharap kamu adalah anak laki-laki kami yang tangguh. Kamu adalah anak laki-laki pertama yang terlahir dari rahin Ummi, semoga bisa mengayomi adik-adikmu kelak ketika Allah masih member kami amanah.
Anakku tipe kinestetik, dan terlihat sejak usianya 9 bulanan. Ketika usianya 8 bulan dia pertama kali bisa mengucapkan kata ‘tate’ (kakek), untuk urusan komunikasi perkembangan Izz cukup baik dibandingkan anak seusianya. Ketika usianya 18 bulan, sudah bisa menjawab ilmu tauhid meski dengan pelafalan sederhana. Dia anak yang tumbuh dengan senyumnya yang gemar merekah ketika bertemu orang lain. Dia punya daya ingat yang baik, bahkan sayapun kerap dibuat terheran.

Dan aku adalah…
Wanita yang terlahir dari sebuah desa denga lingkungan asri. Terbiasa dengan komunitas social sejak duduk di bangku kuliah. Dan akhirnya perlahan diberi hidayah berhijab meski masih sangat butuh siraman rohani untuk memperindah imannya. Saya beruntung terlahir dengan sebutan ceria, meski sedang dirundung masalah saya bisa menyembunyikan lewat senyuman. Untuk sebuah perkara yang masih baru, maka saya punya semangat untuk menjalaninya.
Dan saya adalah…seorang Ibu yang bisa membuka mata untuk kelemahan anak. Energik ketika menemani si bocah bermain.
Dan saya adalah bisa bekerja individu dan tim ( lha kok yang ini kayak nulis CV saja yah hihih).  Saya punya kemauan keras sehingga sifat tidak sabaran kerap mengintip.

Dan keluarga kita berpindah tempat…
Tanah Banua, kota banjarbaru adalah tempat tinggal kita sampai Allah menakdirkan di sudut bumi mana lagi kita akan bertapak. Tanah ini berbeda kultur dengan masa dimana saya dan suami menghabiskan masa kecil, di tanah Sulawesi. Bahasa…adat, makanan dan masih banyak lagi.
Dan aku menafsirkannya Allah member kita kesempatan untuk berkenalan dengan saudara kita di belahan pulau yang lain. Tempat kita untuk belajar lebih saling menguatkan ketika berada jauh dari sanak saudara sedarah, dan mampu menciptakan zona nyaman meski dengan sgala hal yang baru dan akan kita pelajari. Aku menafsirkan bahwa Allah menyebar lading rejeki bukan melulu pada satu tempat, dan keluarga kita diberikan kesempatan untuk menjemput rejeki itu di tanah ini. Mengikutimu kesini suamiku membuatku memutuskan untuk resign  dari tempat kerjaku, Allah menakdirkan bahwa amanah dariNya membutuhkan diriku. Kita adalah dua manusia yang punya latar belakang berbeda tapi punya komitmen yang sama. Berharap luka-luka yang mungkin pernah tertoreh dari pengajaran orang tua kita tak terulangi pada anak kita. Aku dengan status full time mother akhirnya mengerti bahwa menjadi seorang ibu itu tidak mudah, ketika dulu masih ada Ibu dan Ayah bantu menjaga sekarang dengan tempat baru ini aku bisa merasakan seorang ibu yang seutuhnya. Aku bisa membuat masakan meskipun tak seenak Ibu dan Mamah Sulawesi. Kemanapun pergi akan selalu bersama, aku masih ingat komitmen kita itu. Semoga kita dan domisili kita yang sekarang semakin menguatkan kita dan kian bertambah pula eksistensi sebagai hamba Allah SWT. Aamiin





1 komentar: