Kamis, 30 Agustus 2012

Icip-Icip Pahala...atau mendulang pahala??

Malam ini, aku berbincang dengan seorang kawan tentang hal sepele dan akhirnya bergulum pada keadaan Syawal. Yaa….bulan syawal datang, dan itu artinya kita masih diberikan limpahan ladang amal dari Allah SWT. Selepas Ramadhan yang menawarkan berbagai cita rasa ibadah dengan bobot yang tinggi. Lantas Allah SWT pun menganugerahkan Syawal untuk tercicipi. Kamu membuka percakapan perihal puasa Syawal. Katamu,..mungkin hatimu belum tergerak untuk mencicipinya. Kusadurkan kalimat tentang janji Allah akan limpahan pahala ketika kita mengerjakannya, dan kamu mungkin tersenyum simpul di ujung telpon sana. Sekali lagi, ini masalah niat dan ketergerakan hati.Ya sudah…..

kemudian kamu berkata padaku....

“Aku tidak begitu setuju dengan cara ustadz ketika berceramah dan mengajak ke hal yang baik, tapi mengumumkan nominal dari pahalanya. Sekian kali lipat, atau apalah..toh urusan agama adalah urusan individu kepada Tuhannya saja. Allah melipatgandakan pahala sepuluh kali lipat ketika kau berpuasa di bulan Syawal..bla bla bla. Buat apa semacam imbalan. Samalah halnya dengan pekerjaan, cukup setulus ikhlas mengerjakan, tidak terlalu butuh sebuah nominal untuk dikerjakan, yang penting ikhlas”


Setiap orang bebas untuk perpendapat, setiap orang pun bebas untuk tak berpendapat. Maka dari itu, prinsip kehidupan seseorang dengan orang lain terkadang mengalami perbedaan. Manusia adalah unik, hidup bersama hati dan pikiran dengan alur yang berbeda, menghasilkan aneka lintasan pikiran, larut dan terbuai dari buah pelampiasan dan penghayatan yang akhirnya berkecambah menjadi sebuah tindakan dan patokan tersendiri untuk hidup. Namun disisi lain, selain pendapat ada hal yang nyata dan mutlak berada pada garis patokannya, itulah qalam Allah. Yang tertulis apik dalam Al Qur;an dan Hadist yang telah mengarsipkannya dari dulu sampai sekarang, sepanjang masa.

Kehidupan dunia dan akhirat adalah hal yang berbeda  namun saling bertalian. Bisa dikatakan sebab dan musabab. Bagaimana kita menjalani kehidupan di dunia maka tolak ukur kehidupan akhirat adalah bidik terakhir. 

Berawal dari sesuatu yang kecil dan akhirnya menjalar menjadi argument yang mengepul, membludak. Ini seperti mendudukan sebuah perkara ke jenis positif dan harus untuk dilakukan, mengesampingkan sebuah perkara dan menjadikan hal yang tidak begitu penting untuk dilakukan atau membuang jauh sebuah perkara sekaligus menutup kemungkinan untuk dikerjakan. 

Sekali lagi, kehidupan dunia dan akhirat adalah dimensi yang berbeda, yang tak mungkin dilaksanaan dalam jangka waktu bersamaan. Hanya saja ini semacam linear yang saling mempengaruhi suatu himpunan.  Menurutku pribadi, sebagai manusia kita tak seharusnya menyamakan ilmu dunia dan katakanlah ilmu akhirat, sesuatu yang dilakukan untuk menciptakan bangunan istana di kehidupan akhirat kelak. Misalnya, dalam bekerja…imbalan adalah hal yang perlu tetapi jika mengarah pada kepuasan substansi hati, kadang kita berdiri pada dudukan yang monomer duakan imbalan. Berbedalah dengan imbalan atas amal ibadah yang kita perbuat. Jika Allah menjanjikan puasa syawal untuk ditinggikan derajat, untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, dan akhirnya disamakan dengan melaksanakan puasa setahun penuh dengan catatan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, maka itu adalah hal yang berbeda dengan imbalan yang ada di kehidupan dunia. Kita dianjurkan untuk berlomba-lomba pada kebaikan, jadi wajar saja ketika aku melaksanakan hal yang membawa kebaikan, dan tergerak melakukannya karena pahala yang ditawarkan. Terlepas dari pikiran picik apakah murni untuk mendapatkan imbalan dengan niat yang tulus ikhlas atau hanya melakukannya karena hal yang demikian telah tertulis dengan jelas dalam surat cinta Allah. Jika perkaranya demikian itu tergantung dari buku catatan amal milik Allah SWT semata. Yang jelas, yang perlu hanyalah kesucian hati dan kemauan untuk melakukannya. Jangan berpikir, itu sama halnya dengan kita melakukannya karena ada imbalan dilipat gandakan pahalanya atau ditinggikan derajat. Sekali lagi…imbalan dunia dan akhirat adalah sebuah konstanta yang berbeda.


Aku menyukai sebuah kutipan dalam sebuah buku tentang logika agama…

Memang apa yang dijangkau hati, merupakan hakekat yang tidak dijangkau oleh bahasa. Ia merupakan cahaya yang memancarkan dan menyejukkan hati. Ia tidak memiliki bahasa. Ia bukan seperti akal yang memiliki bahasa dan lambing-lambang. Tetapi karena desakan, biasanya ia dibahasakan dan ini yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kembali, bahwa hati mempunyai logikanya yang sulit dipahami oleh akal.

Bergantung pada respon hatimu, itu adalah konsep untuk menyatukan pendapat. Bagaimana bisa tingkah laku menyikapi ‘sesuatu’ itu. Dan setelahnya, bahwa memang benar ada…sesuatu yang katakanlah hidup dalam logika agama, kedudukan dan batas-batas sebuah akal. Yang akhirnya menyulap pendapat yang akhirnya mengakari sebuah prinsip, dan tertanam dalam nurani tiap individu.
Jika bertolak pada ukuran tindak tanduk yang baik dan buruk, ataukah perilaku yang memang dan mutlak untuk dilakukan dan dihindari, maka kembali pada kondisi keimanan seseorang dan pengetahuan akan apa yang tercantum dalam hal yang diyakininya.


Misalnya….bagaimana Islam mengatur perihal berpakaian.
Hai anak-anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah” (Al-A’raf;26)
Lalu kemudian dicantumkan dalam surat cinta Allah, Al Ahzab ayat 59 tentang suruhan berjilbab, bahwa sesungguhnya jilbab adalan ciri khas wanita Muslim. Kemudian ketika Islam mendefenisikan batasan aurat dan bagaimanan sepantasnya berbusana yang baik, menjulurkan kerudung hingga ke dada. Maka bermuncullah berbagai spekulasi, bergantung pada hati dan pikiran individu menafsirkan. Akhir-akhir ini kita biasa melihat wanita muslim yang mengenakan busana atas dasar trend atau mode. Dalam keyakinan mereka, itu adalah hal yang sama yang dianjurkan oleh agama. Menutup aurat. Tapi tunggu dulu, ada hadist yang mengatakan, bahwasanya RAsulullah saw bersabda: “barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah (termasuk) dari kalangan mereka. Kembali lagi, mungkin menurut mereka itu sudah sejalan dengan perintah Allah, tapi menurutku tidak. Tapi aku tak berhak untuk menghakimi mereka dengan berkata,kalian berdosa, kalian akan dijerumuskan dalam api neraka. Kodratku sebagai muslim adalah berbagi tentang hal yang kupahami bukan menilai dosa tidaknya, karena yang pantas untuk menilai kesemuanya kembali pada Allah SWT.

Ataukah…contoh yang lain,..tentang kekeliruan ketika keluar rumah, bepergian jauh (safar) dan campur baur (ikhtilath) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Aku pernah membaca buku yang didalamnya ditulis tentang wanita muslimah yang keluar untuk bekerja, tatkala kaum muslimin membutuhkan pekerjaan di tengah-tengah komunitas wanita. Ada poin yang mengatakan larangan untuk tidak bekerja di suatu tempat yang campur baur dengan laki-laki, seperti bekerja sebagai perawat. Aku sendiri mengambil jurusan ilmu keperawatan. Jujur ketika membaca bagian itu, aku langsung menggaris bawahi dan melipat halamannya. Bukan karena aku sepakat dengan apa yang tertulis disana, justru sebaliknya. Dan kembali lagi, itu adalah pemahamanku. Apakah tindakanku menjadi mahasiswa keperawatan adalah dosa atau bukan, itu Allah yang menentukan.

Misalnya lagi,. Aku pernah mengikuti Talk Show Mas Solikhin Abu Izzudin, penulis buku best seller Zero to Hero, The Way to win. Beliau pernah berkelakar, bahwa ia tidak terlalu sepaham dengan Mas Salim A. Fillah tentang nikah muda, makanya saya tidak menikah muda.
Islam pun mengajarkan tentang kelas-kelas cinta. Bagaimana seseorang menanggapinya,tak ada yang berhak menodong salah satu dengan mengatakan tindakannya lah yang paling benar. Pernikahan merupakan bagian dari perjalanan rohani manusia. Kaum Adam ada yang berpendapat untuk mematangkan sandang, pangan dan papan baru kemudian menikah, dengan alasan tujuannya membahagian wanita yang akan dipilihnya kelak. Ada pula yang lebih berani memilih bahwa pernikahan adalah sebuah ladang rizki, maka Allah tlah mengatur rizki tiap orang. Semuanya bebas berpendapat. Tapi kalo boleh berpendapat, sebagai kaum hawa, terlalu picik pemikiran seorang Adam jika ingin melengkapi sandang, pangan dan papan barulah kemudian menikah. Tahukah kalian hai kaum Adam…ada masa-masa indah, yang membuat seorang wanita mendulang rasa cinta dan hormatnya kepada kalian, adalah ketika melihat kalian berjuang mencari nafkah, bukan ketika semuanya telah tersedia. Maka aku masuk pada bagian, tidak usah melengkapi sampai ke papan, jika hati mantap untuk meminang, maka halalkanlah yang telah membuat hatimu berkedut gila. #eaaaaa^_^. Maka apakah menikah muda adalah sebuah dosa? Menunda pernikahan sebelum mendapatkan pekerjaan??Dosa?? Allah SWT Maha Mengetahui.
Ada banyak contoh hal-hal yang tidak bisa dikategorikan untuk kita tahu dosa atau tidaknya, tapi untuk sebuah qalam Allah yang meriwayatkan nilai nominal didalamnya. Jangan takut, akan dinilai serakah….yang pastinya niat untuk mendapatkan pahala dan rahmat Allah adalah dari hati. Ini bukan masalah imbalan dalam dunia, tapi masalah imbalan dan tiket kita ke akhirat. So..Nyok puasa Syawal…ayo perbanyak amalan di dunia sebelum masa berdirimu expired. Hai kawan, mau nonton saja, icip-icip pahala atau ikutan mendulang pahala...mumpung kita masih dibekali oksigen^_^

gmbr nyulik disini
Kesempurnaan bukan ada padaku, tapi semata ada pada Sang Pencipta…
Tulisan ini adalah obrolan malam dengan seorang kawan..
Yang tetap akan kuanggap kawan meski berbeda prinsip dan pendapat…
Bukankah perbedaan itu indah, membawa warna…
Ini sebuah celoteh ketika hatiku menyakini yang kucerna
Ketika logikaku mendudukkan batasan akal untuk meliukkan tulisan…
Kembali lagi…aku hanya manusia biasa…
Dan sebuah pendapat bisa saja berubah seiring akal menemukan poin poin nalarnya dan adaptasi nurani^^

10 komentar:

  1. judulnya menarik icip2 hihihi...
    pembasahannya ngena hatiku hehe, hatimu sedang mengungkapkan sampai puanjang hehee...

    Memang terkdang spti aneh yah menjulang pahala dgn sekian lipat. Saya juga berpikir spti hingga detik ini tak terbesit dalam benak saya bepra pahala.

    yg pastinya saya brsaha menetapi kebenaran dan bersaha menetapi kesabaran ukh. Atas perintahNya asal tdak meleset dari jalur Al-qur'an dan sunnah.

    pada hakikatnya jika menjulang icip2 pahalnya brsaha menghitung sekian jga cape yah, pasti ga ada habisnya.

    Hari Hisab tentunya ada, dan saya paham ukhti Puji ttg spti ini, banyak juga yag sama spti ini hehe..

    oia ttg al-araf yg mengatur pakaian hehe...
    Iya namun ada penguatan itu sndiri pada Q.s ANnur jadi memng hars dikaitan antara ayat surat lain juga Ukht,

    iyalah masa kita ngatain berdosa, di dalam al-qur'an juga tidak ada tulisannya sedemikian kan tak boleh bgtu karna setiap orang itu brsaha maju kan?

    yah menuju kebaikan mngkin dia akan berbah lebih baik / bhkan lebih baik dari kita Lho..

    keep smile ^_^ aku baca sampai habis postingany ukh hehe..
    siang

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget mbak Nur...semuanya saling terkait, tentang bagaimana Islam mengatur tatacara busana...ada banyak kemuliaan yang dikhususkan untuk wanita dalam berbagai ayat dan hadistnya...

      ini hanya sebatas tulisan...menilai tentang sudut pandangan yang beda... keep istiqomah^^

      Hapus
  2. Yaa....perbedaan adalah rahmat. Selama masih Islam, shalat, puasa, zakat, dll, sah2 aja berbeda pendapat, Asal jangan berbeda pendapat mengenai aqidah, bisa berabe, hehehe

    BalasHapus
  3. Mau beribadah karena pahala atau bukan karena pahala (tapi karena berharap cinta-NYA), sah2 saja ya Uty, yang penting masih dalam koridor Islam ...

    BalasHapus
  4. perbedaan itu wajar asal tidak saling berselisih ya

    BalasHapus
  5. Bahasa hati memang tidak bisa digambarkan dengan kata2 ya mbak hehehe...

    BalasHapus
  6. kalo kata Ippho Right mah gpp kalo pamrihnya ke Allah SWT bukan ke manusia :), manusia itu banyak tingkatannya, ada yang baru sampai ke 'level' hitung-hitungan, ada yang sudah lebih tinggi lagi tingkatan imannya sehingga ia beribadah bukan berdasarkan pahala tapi karena rasa takut kepada Allah dan ada juga yang lebih tinggi lagi levelnya daripada itu, tapi yang pasti semua adalah proses :)

    BalasHapus
  7. good job sist...

    tulisaannya oke banget..

    BalasHapus
  8. aduuuh beneran deh setelah baca artikel ini hati ku jadi tersentuh banget, terimakasih banyak yah ats inifo yang snagat bagus ini... semoga bermanfaat bagi yang lain juga,, amiin

    BalasHapus
  9. salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
    nikmatilah hidupmu agar kamu tidak merasa bosan dalam setiap keadaan.,.
    ditunggu kunjungan baliknya gan .,.

    BalasHapus